FGD Universitas Brawijaya bersama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI


MALANG,KRJATIM.COM – Tujuan FGD ini menelaah sejauh mana optimisme pemerintah pusat maupun pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota merealisasikan mimpi-mimpi dalam RPJP untuk menuju Indonesia emas 2045. “Namun RPJP ini nampaknya kita berharap cemas dengan perencanaan yang sudah disusun, khususnya ketika kita melihat dari sisi supremasi hukum, tata kelola dan kepemimpinan.

Kita menemukan ada kondisi-kondisi yang sangat riskan untuk bisa diwujudkan,” Ujar Ketua Pusat Pengembangan Otonomi Daerah (PP Otoda) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Ria Casmi Arrsa SH MH Kamis (7/11/2024) di salah satu hotel di Kota Malang.

Diungkapkan dalam FGD yang berfokus pada hubungan pusat daerah dalam konteks harmonisasi dan sinkronisasi RPJP provinsi dan kabupaten-kota di bidang transformasi tata kelola supermasi hukum, stabilitas dan kepemimpinan Indonesia dalam bingkai NKRI.Dari sisi supremasi hukum, pihaknya melihat ada kekurangan, yakni melemahnya penegakan hukum. Meskipun pada satu sisi cita-cita penegakan hukum sangat kencang sesuai aturan, namun praktik atau realita ditemui pelemahan dalam penegakan hukum.

Hal ini ditandai dengan berbagai macam kasus yang melanda aparatur penegak hukum di lembaga peradilan. Pihaknya mencontohkan dengan kasus mafia peradilan yang ini menunjukkan suatu kondisi yang inkonsisten. Kemudian pada tubuh kejaksaan maupun institusi pemberantasan korupsi yang juga terindikasi melemah.

“Jadi, ibaratnya hal-hal yang ingin dicapai dalam perencanaan pembangunan ini, praktik di lapangan berbanding 180 derajat. Situasi dan kondisi ini, RPJPN nanri hanya sebatas angan-angan atau mimpi indah dalam mewujudkan Indonesia Emas 2024,” tegasnya.
Keselarasan pemerintah pusat dan daerah dalam visi misi dan program menjadi satu hal penting. Terlebih Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang telah didok untuk 20 tahun ke depan dalam Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024. Sehingga, optimisme dalam merealisasikan program dalam RPJPN ini menjadi bahasan dalam focus group discussion (FGD) yang digelar Universitas Brawijaya bersama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI,. Dari sisi supremasi hukum, pihaknya melihat ada kekurangan, yakni melemahnya penegakan hukum.

Meskipun pada satu sisi cita-cita penegakan hukum sangat kencang sesuai aturan, namun praktik atau realita ditemui pelemahan dalam penegakan hukum.
Hal ini ditandai dengan berbagai macam kasus yang melanda aparatur penegak hukum di lembaga peradilan. Pihaknya mencontohkan dengan kasus mafia peradilan yang ini menunjukkan suatu kondisi yang inkonsisten. Kemudian pada tubuh kejaksaan maupun institusi pemberantasan korupsi yang juga terindikasi melemah.

“Jadi, ibaratnya hal-hal yang ingin dicapai dalam perencanaan pembangunan ini, praktik di lapangan berbanding 180 derajat. Situasi dan kondisi ini, RPJPN nanri hanya sebatas angan-angan atau mimpi indah dalam mewujudkan Indonesia Emas 2024,” tegasnya.

Untuk itu, dalam upaya mewujudkan program dalam RPJPN ini, perlu komitmen kuat dari pemerintah pusat, provinsi hingga tataran kabupaten kota. Selama ini perencanaan yang menjadi kelemahan adalah dalam penerapan diimplementasikan secara global pada seluruh pemerintahan daerah. Selaras dengan hal tersebut, dalam FGD kemudian menghasilkan satu konsep bahwa perencanaan tidak kemudian diberlakukan secara global. “Di Jawa Timur saja, kompleksitasnya sudah besar.

Apalagi ini diterapkan di wilayah seluruh Indonesia. Saya tidak membayangkan bagaimana situasi di Papua, Kalimantan, Sulawesi, apalagi pada daerah-daerah yang terklasifikasi sebagai daerah 3T. Itu akan sulit sekali dalam mewujudkan ini,” paparnya.

Satu gagasan ke depan dari hasil diskusi adalah bagaimana dalam penerapannya adalah bahwa otonomi ini tak harus general. Artinya dapat menerapkan klusterisasi dalam pelaksanaan oleh pemerintahan daerah. Hal ini tentunya juga berkaca pada kemampuan fiskal daerah yang berbeda-beda.”Misal kebijakan menuju zero kemiskinan dan ini harus diberlakukan di daerah 3T. Nah target ini tak realistis ketika itu dipaksakan. Akan berbeda ketika pemerintah daerah yang mampu dan pemerintah daerah yang tak mampu. Tak bisa harus disamaratakan dalam satu program,” ungkapnya.
Kemudian, dalam kebijakan makan gratis oleh pemerintah, hal ini tentunya juga akan membuat pemerintah daerah kelimpungan. Bagaimana pemerintah daerah berpikir keras dalam merombak lagi struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

“Maka, hal ini perlu penyesuaian dengan karakteristik, kemampuan dan kebutuhan di masing-masing daerah. Tantangan-tantangan itulah yang kemudian terurai dalam diskusi,” pungkasnya.(dil)

Berita Terkait

Top